Sunday, March 01, 2009

Menjadi Uswah, bukan Selebritis
Oleh : Reza Ervani

Bismilahirrahmanirrahiim

Beberapa hari terakhir, begitu banyak pelajaran berharga yang bisa penulis petik dari pertemuan dengan orang-orang hebat. Hebat dalam artian memiliki pengalaman perjalanan ruhiyah yang panjang, yang menempa mereka menjadi bijak dalam memandang dunia; Hebat dalam segala kesederhanaan dan kebersahajaan; Hebat dalam semangat berbagi dan menasehati dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Beberapa hari terakhir, penulis juga banyak mendapatkan paparan kisah nyata hebat, tentang betapa amal personal jauh lebih lemah dibandingkan amal sistemik dan jama’i. Bahwa posisi individu sebagai perintis tidak boleh berkembang jauh menjadi pengkultusan dan hierarki kerucut – yang secara sadar maupun tidak sadar – menumbuhkembangkan budaya taqlid.

Di Era Media Massa, zaman Web 2.0 saat ini, gampang bagi orang untuk kemudian muncul dengan berbagai macam gayanya, dengan berbagai nilainya. Hanya saja, kadang kita terjebak dengan sangat mudah, untuk mengidentikkan nilai yang populer sebagai nilai yang benar. Menjadikan wajah yang muncul sehari-hari sebagai rujukan kebenaran.

Ada sebuah hadits Rasulullah saw yang begitu menggugah :

Alangkah bagusnya seorang hamba yang memegang kendali kudanya di jalan Allah, rambutnya kusut, kakinya berdebu. Jika mendapat tugas berjaga ia berjaga. Jika tugasnya di barisan belakang tetap di belakang dan jika di depan tetap di depan (Hadits Riwayat Bukhari)

Tentang hadits ini Ibnul Jauzi berkata, “Artinya ia tidaklah disebut-sebut, tidak menginginkan ketinggian. Jika diberi tugas untuk berjalan, ia berjalan, seakan Rasulullah berkata. “Jika berjaga malam (hirasah) terus menerus berjaga dan jaga bertugas di barisan belakang senantiasa di sana.”

Sementara Ibnu Hajar berkata, “Pada hadits itu terdapat anjuran untuk membuang kecintaan terhadap riyasah (ambisi kepemimpinan) dan popularitas, serta keutamaan ketidakterkenalan dan tawadhu.”

Satu hal yang juga yang penulis catat, bahwa bahaya popularitas tidaklah hanya mengancam individu per individu saja, tapi juga dapat merasuki sebuah barisan atau sebuah golongan, dan ini menjadikan tingkat bahayanya menjadi lebih besar, karena keyakinan bersama terhadap sebuah nilai yang salah, akan membentuk sebuah sistem yang semakin susah untuk digugat, seperti kisah Raja dan Pakaian Barunya yang tidak terlihat.

Perjalanan ini memberikan sebuah pembelajaran baru, bahwa seorang pelajar haruslah mulai belajar untuk tidak bercita-cita menjadi orang yang terkenal, tapi berupaya keras menjadi teladan, uswah hasanah, yang mungkin saja tak sempat tercatat oleh sejarah, tetapi memberikan goresan luar biasa dalam membentuk peradaban yang anggun, kokoh dan berdiri diatas nilai-nilai kebenaran hakiki.

Mudah-mudahan kitalah mereka itu.

Amin.

Allahu 'Alam

Friday, September 12, 2008

Garis Putih
Oleh : Reza Ervani

Hari-hari ini penulis seringkali masih berada di jalur Jakarta - Bandung menjelang tengah malam. Tapi entah mengapa malam ini menjadi sedikit berbeda. Mungkin karena sesi muhasabah yang penulis lakoni sebelum perjalanan pulang.

Pandangan penulis tertarik dengan sendirinya ke garis putih di sepanjang jalan. Ada yang putus-putus, ada pula yang terus tak terputus dari Jakarta hingga Bandung.

Jika siang hari, garis-garis ini lebih sering kita abaikan. Jalan yang begitu luas atau pemandangan di kiri dan kanan jalan mungkin lebih mengasyikkan daripada sekedar merenungkan garis yang seakan tanpa arti. Abai kita karena kurang asyiknya garis itu untuk dinikmati, tak terasa manfaat dan peran pentingnya.

Tapi saat malam-malam ini, garis-garis itu terasa sekali kekuatannya. Ia membantu kita menyusuri jalan, yang kadang tak terjangkau oleh sorot lampu kendaraan.

Ada garis-garis melintang yang mengisyaratkan bahwa di depan ada cabang jalan, janganlah sampai kita menabrak pemisah antara keduanya. Ada garis panjang bahu jalan, yang menjaga kita untuk tidak terlalu kepinggir dan terperosok.

Penulis teringat Al Quran. Petunjuk yang sering kita abaikan.
Mungkin karena pemandangan kiri dan kanan lebih asyik dan melenakan.
Mungkin karena musik yang asyik di dalam kendaraan.
Atau mungkin karena kita terlelap tidur hingga tak sadar.

Tapi saat gelap gulita, barulah terasa akan butuhnya sebuah panduan, yang menjaga kita tetap ditengah, tak terjerembab saat mengarungi perjalanan. Entah berapa banyak yang bisa tergelincir jika ia tak ada di hadapan.

Mudah-mudahan tidak demikian adanya.

Allahumarhamna bil Quran.

Bandung, Sahur 13 Ramadhan 1429

Wednesday, August 27, 2008

Menikahlah dengan Wanita yang Berkah, Karena Sholihah Tak Cukup
Oleh : Reza Ervani

Bismilahirrahmanirrahiim

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(Al Quran Al Karim Surah An Nur ayat 32)


"In Yakuunuu Fuqaraa-a, yughnihimullahuhu min fadhlihi", demikian bunyi janji itu.

Dan Jika Allah Yang Berjanji, Maka Allah akan Menepati. Innalaha laa yukhliful mii'aad.

Apa yang membuat seorang laki-laki ragu-ragu untuk melangkahkan pinangannya ? Sebagian besar menjawab materi sebagai alasannya. Begitu juga yang aku rasakan setengah tahun yang lalu.

Sulit untuk bisa membawa keyakinan akan ayat tadi ke tataran praktis, padahal begitu banyak cerita keajaiban yang aku dengar tentang pernikahan.

Kini ....
Setelah hampir 4 bulan mengarungi samudera rumah tangga, bersama "buah hati yang sempurna" - demikian arti harfiah dari nama istriku - kami sering jeda sejenak untuk mengenang romantika proses menjelang pernikahan yang berlangsung begitu cepat.

Semakin direnungkan, semakin banyak pula bulir keajaiban yang harus terus kami syukuri.
Terasa sekali kemudahan yang diberikan oleh Allah.

Kami kemudian mendapati
bahwa kesyukuran itulah ternyata oase Cinta
bahwa kesyukuran itulah ternyata mata air Kasih
bahwa kesyukuran itulah ternyata telaga Sayang yang bening

"Wallahu wasi'un 'aliim", Dan Allah Maha Luas Pemberiannya, begitu bunyi penutup ayat diatas. Begitu luasnya pemberian Allah, sehingga kurs materi tidak akan pernah bisa membelinya.

Seorang pendamping hidup adalah pemberian-Nya. Begitu pula semua yang menyertai bidadari itu. Dan jika engkau ingin meminta ... Mintakan keberkahan-lah yang datang bersama pasangan jiwa itu, karena tampilan sholihah apatah lagi sekedar cantik rupawan takkan pernah cukup untuk memberikan kekuatan agar lentera cita mulia sebuah rumah tangga tetap menyala.

Karenanya, semampumu ... pilihlah seorang pasangan hidup dengan ukuran keberkahan ... jangan merasa cukup dengan timbangan cinta dan sayangmu padanya.

Baginda Nabi shalallahu 'alaihi wa salam mengisyaratkan benar pintu-pintu keberkahan itu jangan sampai ditutup oleh keserakahan cinta dunia.

"Jika ada orang yang kalian ridhai agamanya dan akhlaknya meminang puteri kalian, maka nikahkanlah ia, jika kalian tidak melakukannya, maka fitah di bumi dan kerusakan besar akan terjadi" 1)

"Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya" 2)

"Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya" 3)

"Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah" 4)

....

Jangan pula kau biarkan rasa suka yang mendalam mengalahkan kesempatan-kesempatan yang datang padamu.
Kau simpan cinta yang tak pasti di hatimu, dan biarkan cinta lain yang datang pergi meninggalkanmu.
Karena ... sekali lagi ... cinta saja tak cukup untuk menyalakan lentera di bahtera rumah tanggamu nanti.
Tak pernah kita tahu, apakah dibalik ketidak sempurnaan dalam pandangan mata, tersembunyi keberkahan yang melimpah ruah ...

Denyut keberkahan ...
Itulah yang mesti kita telisik di dada ketika cinta menyapa ...
Ada beda yang akan kau rasa, tentang dia ...
Beda itu akan menguatkan azzammu ...
Menjagamu tetap dalam logika keimanan ketika menilai harta dan rupa ...

Janji Allah itu pasti, karenanya niatkan keberkahan hadir di setiap keputusan hidupmu, termasuk keputusan menemani seseorang dalam jalan juang menuju pertemuan indah dengan-Nya.

Allahuma yasiru wa laa tu'asiru

Bandung, Menjelang Ramadhan 1429 H
Buat seorang sahabat di Ulujami yang sedang merindukan bidadari penuh berkah.

Catatan Kaki
1) HR. At Tirmidzi dalam Kitab an Nikaah, dan dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih an Nasa-i dan al Irwaa'
2) HR. Ahmad, dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Shahihul Jaamin dan Al Irwaa'
3) HR. Ahmad
4) HR. Abu Dawud dalam kitab an Nikaah, dan Syaikh al Albani menilainya sesuai syarat Muslim (di Al Irwaa)

Tuesday, August 12, 2008

Dunia ini Berwarna oleh Para Sukarelawan
Oleh : Reza Ervani
(http://groups.yahoo.com/group/rezaervani)

Jika anda penggiat atau setidaknya pengguna berbagai macam CMS Open Source seperti Joomla, Wordpress, dan Drupal, tentu akrab dengan berbagai macam plugin, themes, modul, ekstension yang gratis.

Terkadang plugin yang ada sangatlah rumit, tapi memberikan kekuatan tersendiri pada tampilan website atau blog pribadi kita. Kekayaan imajinasi seakan-akan menjelma ke dalam muara aplikasi-aplikasi istimewa.

Gelombang generasi Open Source ini mulai penulis rasakan semenjak tahun 1998.

Walau mungkin tidak ada korelasinya, tapi kebebasan reformasi bertambah warnanya dengan kehadiran berbagai macam software non Proprietary. Dan yang paling terkenal tentu LINUX, sebagai alternatif Operating System masa depan.

Tulisan ini tidak akan mengupas masalah perangkat lunak. Hanya sedikit lamunan pagi hari. Betapa dunia menjadi begitu berwarna dengan para sukarelawan. Mereka membuat sesuatu yang sangat brilian, unik, dan optimal, lalu mereka bagikan dengan sukarela, berharap ada yang mau membantu memperbaiki apa yang telah mereka usahakan sebaik mungkin.

Orientasi pembelajaran lebih dominan daripada orientasi materi. Dan ini menjadi kekuatan yang perlahan menguat dan memberikan geliat tersendiri bagi sebuah sisi kemanusiaan.

Menurut penulis, ini alamiah.
Seseorang yang memberikan secara sukarela hal terbaik yang bisa ia buat, akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari apa yang ia berikan. Kekuatan kesukarelaan yang optimal mampu menggerakkan roda kehidupan dengan sangat bertenaga, bahkan mengalahkan logika materialistik dan kekuatan kapital.

Dan ini dapat berlaku di semua segi kehidupan. Seorang ilmuwan (ulama) yang dengan ketulusan membagikan pengetahuannya, akan mendapatkan imbal balik yang lebih berharga dari kekayaan, tenaga bantu di tempat-tempat musibah mendapatkan kepuasan batin yang memenuhi dadanya, guru-guru di pedalaman mendapatkan keberkahan yang terkadang tak mampu dicapai oleh pemahaman logika.

Warna-warni dunia, dinamikanya yang luar biasa, kekuatan hakiki kemanusiaan, tumbuh dari sikap dan mental sukarela.

Mungkin ini yang disiratkan oleh Al Quran :
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (Al Quran Al Karim Surah At Taubah ayat 105)

Allahu `Alam
Bandung On my Briliant Morning

Thursday, June 26, 2008

Konsekuensi Doa "Minta Jodoh"

Oleh : Reza Ervani (komunitas : http://groups.yahoo.com/group/rezaervani)

Bismilahirrahmanirrahiim

Di Al Quran Al Karim Surah Al Furqan ayat 74, ada doa orang yang beriman :

Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

Doa ini seringkali dilantunkan oleh mereka yang sedang mendambakan pasangan hidup.

Tapi ada bagian yang seringkali pula kita luput merenungkannya, yakni bagian "wajalna lil muttaqina imama" (Jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa).

Mari sejenak kita renungkan.

Doa yang dicantumkan dalam Al Quran diatas memiliki makna yang mendalam. Sesuai dengan bahasan kita kali ini, bolehlah rasanya kita bagi doa itu menjadi dua konsekuensi :

a. Konsekuensi pembentukan keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmah

Ini yang seringkali disebut sebagai tujuan utama pembentukan keluarga, sebagaimana yang dicantumkan pula dalam Al Quran Al Karim :

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Al Quran Al Karim Surah Ar Ruum ayat 21).

Konsekuensi pertama ini menuntut kita untuk belajar terus, mentarbiyah diri dan istri, juga anak, agar dapat terhindar dari kesalahan-kesalahan fatal, yang menyebabkan keluarga hilang visi dan misinya.

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Al Quran Al Karim Surah At Tahrim ayat 6)

b. Konsekuensi teladan dan kepemimpinan ummat (keluarga da'wah)

Ternyata ada satu lagi konsekuensi dari doa itu.

Setelah dianugerahi seorang pasangan, maka tidak serta merta tanggung jawab kita selesai. Ada tanggung jawab lain ternyata, yakni KETELADANAN.

"Kamu semua adalah da'i sebelum (profesi) lainnya"

Demikian ujar sebuah jargon da'wah.

Seorang suami, ternyata harus belajar bagaimana menyeimbangkan antara tuntutan haknya sebagai seorang suami dengan kewajibannya memberikan kesempatan bagi sang istri untuk beraktivitas dan berkembang. Begitu juga seorang istri, harus pandai betul, menselaraskan antara hak untuk mengembangkan diri dan kewajibannya sebagai seorang ratu rumah tangga.

Keseimbangan itu akan membuahkan manfaat keluarga untuk sekelilingnya. Manfaat itulah yang disebut dengan da'wah.

"Sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain", demikian sabda junjungan Rasulullah Muhammad saw.

Perkataan seorang suami,"Ah, capek … saya kan sudah banting tulang mencari nafkah …" tidak akan muncul jika ia menyadari betul konsekuensi ganda dari doa yang ia lantunkan ketika meminta seorang pasangan kepada Sang Kholiq.

Juga perkataan seorang istri,"Abi … Umi kan masih capek, bikin sendiri aja gih …", pun tidak akan muncul jika ujung dari do'a itu dipahami dengan seksama.

Fungsi ganda keluarga muslim inilah yang menyebabkan ia berbeda dari sistem keluarga yang biasanya. Keluarga yang hanya berorientasi dapur, sumur, kasur tidak akan mampu memberikan efek kesholihan sosial.

Konsekuensi "lil muttaqina imama" ini juga menuntut kebijaksanaan yang lebih ketika memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan keluarga, karena ada pertimbangan keummatan yang masuk ke ranah pengambilan keputusan tersebut. Sesuatu yang menurut pertimbangan baik untuk keluarga, tetapi tidak baik untuk ummat, bisa menyebabkan keputusan itu gugur dilaksanakan. Sebaliknya pula, jika apa yang dipikirkan baik untuk ummat ternyata tidak berdampak positif buat keluarga, tak boleh pula dipaksakan untuk tetap dijalankan.

Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.

Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.

(Al Quran Al Karim Surah Ar Rahman ayat 8 – 9)

Fungsi ganda ini membutuhkan pembiasaan dan pembelajaran. Pasti ada lelah di saat-saat awal, karena inilah bagian dari tarbiyah keluarga itu. Jika nanti fungsi ganda keluarga yang merupakan konsekuensi doa kita ketika meminta pasangan itu tercapai, maka cita-cita menjadi ustadziatul `alam (guru bagi semesta) itu Insya Allah akan tercapai.

Allahu `Alam

Bangka Barat – Bandung, Jumat 23 Jumadil Akhir 1429 H

Monday, June 02, 2008

Ideologi Penulis
Oleh : Reza Ervani

Jadi pengarang apa ?
Barangkali tuan sangka akan lebih mudah lagi jika mengarang soal-soal agama.
Itupun bukan sedikit kesulitannya. Sebab pengarang itu harus bebas dari taklid harus berpendirian sendiri, walaupun berlawanan dengan mazhab dan ulama yang dahulu. Sebab yang dinantikan orang dari seorang pengarang, bukan gramofon fikiran orang lain tetapi pendapatnya sendiri.

"Tentukanlah tujuan hidup, dan berjuanglah untuk mencapainya !!!"

(Buya HAMKA, Kenang-kenangan Hidup halaman 124)


Penulis tanpa ideologi adalah penulis tanpa tenaga
Khayalnya terbang kemana-mana
tetapi kakinya tak pernah berpijak pada ruang dan waktu yang nyata
yang tertinggal hanya prolog, alur dan epilog sebuah cerita
mungkin sempurna secara bahasa
tapi hampa tanpa daya
Tulisan adalah duta ideologi Sang pujangganya.
Di balik katanya tersimpan seruan lembut yang tak terdengar oleh telinga
tapi mampu menyusup ke selongsong dada
dan menggetarkan dawai-dawainya
dari dalam jiwa
Kata yang terangkai adalah pedang sang penyairnya
Ia mampu robohkan ribuan benteng perkasa
tanpa harus lontarkan meriam kearahnya
ia gelisahkan jenderal lawan nan digdaya
tanpa harus kumpulkan pasukan di sekelilingnya
Yang dipegang seorang sastrawan bukanlah pena kecilnya
tapi ideologi besarnya …
Semakin tinggi keyakinannya,
semakin luas pula cakrawala paparannya
Tulisan-tulisan yang muncul dari celupannya
mampu membasahi gersang hati yang merindu nasehat sempurna
mampu lahirkan air mata
bahkan kerelaan berkorban serahkan harta dan nyawa
Jiwa teguh itu digambarkan kitab suci dengan sebuah perupa
Kamatsalil jannah bi rabwatin ashoobahaa
Waabilun fa-aatat ukulahaa
Dhi'fayni
Fa inlam yushibhaa
Waabilun fathal
Semisal kebun rimbun di dataran tinggi
Tersiram hujan lebat
Buahnya dua kali lipat

Jika tak ada hujan
Gerimis dan embunpun mencukupi
Rangkaian kalimat kokoh itu berdiri di atas keyakinan ideologi seorang penulis
Wallahu ta'maluuna bashir

Allahu `Alam

Bandung, 28 Jumadil Ula 1429 H
Ditulis sebagai ucapan terima kasih kepada Bapak Mif Baihaqi, Ketua Jurusan Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia atas pengantar indahnya dibuku "Ada Cinta di Masjidku"

Saturday, May 31, 2008

Sastra, Buku dan Peradaban
Oleh : Reza Ervani

Bismilahirrahmanirrahiim

Syeikh Abdul Halim Mahmud (mantan Pemimpin tertinggi Al Azhar Mesir) menulis dalam bukunya al Quran fii syahr al Quran bahwa :

Dengan kalimat Iqra' bismi rabbik, Al Quran tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tapi `membaca' adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan `Bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu'. Demikian juga apabila anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan sesuatu aktifitas, maka hendaklah hal tersebut juga didasarkan pada bismi rabbik sehingga pada akhirnya ayat tersebut berarti `Jadikan seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuannya, kesemuanya demi karena Allah'

Sayyid Quthb dalam fii Zhilal menuliskan ketika menafsirkan surah Al Alaq :

...., tampak jelas pula hakikat pengajaran Tuhan kepada manusia dengan perantaraan `kalam' (pena dan segala sesuatu yang semakna dengannya). Karena, kalam merupakan alat pengajaran yang paling luas dan paling dalam bekasnya di dalam kehidupan manusia.

Prof. Quraish Shihab dalam tafsir Al Mishbah menuliskan :

... Dari uraian diatas kita dapat menyatakan bahwa kedua ayat diatas menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah swt dalam mengajar manusia. Pertama, melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia ...
***

Tiga kutipan diatas tampaknya sudah cukup untuk mengantar sebuah pernyataan bahwa membaca dan menulis adalah sebuah kerja peradaban.

Kenapa Rasulullah saw mendapatkan mu'jizat berupa sebuah kitab suci, bukan keajaiban membelah lautan, bukan keajaiban menghidupkan orang mati, dan bukan keajaiban-keajaiban yang sulit dicari alasan ilmiahnya atau bahkan riwayat shohihnya. Karena peradaban akhir zaman dibangun diatas kerja membaca dan menulis.

Jadi naif rasanya, jika kegiatan membangun sebuah peradaban baru, dilakukan dengan melupakan kerja membaca dan menulis. Nonsense rasanya, jika visi membangun pendidikan yang lebih baik dilakukan dengan melupakan dunia pena dan pustaka.

Sejarah sering menceritakan kepada kita, betapa mujahid sejati senantiasa basah dengan darah di medan perang dan basah pula dengan tinta di medan pemikiran.

Yang kurang dari bangsa besar inipun sebenarnya cuma satu, menulis dan membaca dengan seksama.

Kita lebih sering berkomentar dan berceloteh sebelum usai membaca. Usai membaca bukanlah khatam sekali dua, karena mungkin ada kata simpul yang tak tercerna, mungkin ada kalimat kunci yang belum terbuka, mungkin ada makna yang belum terkuak.

Dalam bahasa Quran, dikenal dengan istilah tartil, yang terambil dari kata ratala yang antara lain berarti serasi dan indah. Ucapan-ucapan yang disusun secara rapi dan diucapkan dengan baik dan benar dilukiskan dengan kata-kata tartil al Kalam.

Mungkin karena kita jarang membaca dengan tartil, lahirlah pendapat-pendapat prematur yang jangankan masuk ke ranah ilmiah, dipahamipun sulit jadinya. Lalu ditanam pula pendapat-pendapat itu pada lahan yang kering sehingga berbuah selisih paham dan debat berkepanjangan. Naudzubillahi min dzalik.

Sebuah buku tak hanya judul yang terpampang di sampul, tapi alur halaman-halamannya merupakan buah pikir yang dirapikan dengan seksama, ditelaah kembali dengan membaca dan membandingkan. Mungkin karena itu berat bagi komentator dan spesialis penulis kata pengantar untuk melahirkan sekian banyak buku. Bukan karena sulit, tapi pola pikiran yang masih terlalu acak dan eksplosif sangat rumit untuk diterjemahkan dalam lembaran-lembaran terstruktur. Allahu `Alam.

Pikiran-pikiran yang rapi, bab-bab yang rapi, hingga judul yang rapi kadang hilang makna pula, jika tak bertemu pembaca yang memiliki jeda waktu yang rapi untuk berhenti sejenak memahami emosi yang tersembunyi dibalik rangkaian huruf.

Orang-orang dengan jeda teratur inilah yang kekuatan katanya harus pula didengarkan oleh mereka yang berjuang dalam kata dan kalimat. Karena jeda mereka mengantarkan orang-orang itu mampu menelaah sekian banyak lembar yang terkadang tak sempat tersentuh oleh seorang penulis. Mungkin itu alasan kenapa Quran menyandingkan pendengaran setelah hati, sebelum penglihatan. Karena mendengar lebih sulit daripada melihat. Membaca seksama jauh lebih sulit daripada melihat sekilas. Tak perlu alasan, karena anda pasti mendengar bisikan sang penulis ketika melihat rangkaian kalimatnya dengan teliti, tapi dapat dipastikan bahwa anda hanya akan mendengar komentar emosi hati sendiri ketika membacanya tanpa jeda.

Begitu pula peradaban, ia tidak lahir serta merta. Kalaupun ada, pondasi rapuhnya hanya akan mengantarkannya pada era sejarah, yang kadang bisa terkenang, tapi lebih banyak tidak. Pondasinya lahir dari telaah mendalam yang merupakan buah dari kerja `membaca'. Lembaran-lembaran itu nantinya berubah menjadi nilai yang menjaga dan memberi warna. Jika begitu banyak lembaran yang salah dan tidak ada yang meluruskan, maka kehancurannya hanyalah persoalan waktu.

Jadi jika ada yang bertanya kepada seorang muslim tentang cara ia membangun peradaban baru, maka dengan singkat ia menjawab,"Iqro, bismirabbikaladzi khalaq"

Dinamika peradaban yang dibaca dengan seksama.
Membaca seksama yang mengkristal menjadi pikir yang mendalam.
Buah pikir mendalam yang digubah secara teliti menjadi Sastra.
Sastra yang dirapikan dalam sebuah buku.
Akan mengantarkan kita kepada pintu peradaban yang diimpikan.
Peradaban yang dibangun dengan Nama Tuhan yang Menciptakan.

Insya Allah.

Bandung, 26 Jumadil Ula 1429 H, berteman Teh Melati hangat buatan Istri
Kutulis untuk sahabat Fiyan Arjun, jangan biarkan penamu mengering karena komentar lima menit, juga buat crew Penerbitan Rumah Ilmu Indonesia, kerja kalian adalah kerja melahirkan peradaban, jangan lemah ...

komunitas : http://groups.yahoo.com/group/rezaervani